DITENGAH tengah tantangan sosial dan ekonomi yang semakin kompleks, pemerintah Indonesia menggulirkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai upaya strategis meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak usia dini. Program ini bukan sekadar membagikan makanan kepada anak sekolah, melainkan investasi jangka panjang untuk membentuk generasi sehat, cerdas, dan berdaya saing.
Namun, besarnya anggaran sekitar Rp71 triliun dan luasnya cakupan membuat program ini menuntut pengelolaan yang sangat cermat. Pemerintah pun mendorong digitalisasi program MBG agar pelaksanaannya efisien, tepat sasaran, dan akuntabel. Langkah ini bukan hanya soal modernisasi birokrasi, tetapi juga bentuk nyata dari pengamalan nilai amanah dalam tata kelola kebijakan publik.
Efisiensi dan Akuntabilitas dalam Satu Sistem
Digitalisasi MBG dirancang untuk memastikan setiap tahap mulai dari pendataan hingga pelaporan berjalan transparan dan terdokumentasi.
Sistem digital ini melibatkan empat komponen utama: pendataan penerima manfaat, pelaporan kegiatan, verifikasi lapangan, dan integrasi data keuangan.
Tahap pertama, pendataan penerima manfaat menggunakan teknologi face recognition. Setiap anak sekolah yang hadir akan diabsen secara biometrik untuk mencocokkan data penerima dengan jumlah porsi makanan yang tersedia. Dengan begitu, data menjadi akurat dan manipulasi dapat dicegah.
Tahap kedua, pelaporan real time, memungkinkan Badan Gizi Nasional (BGN) memantau langsung aktivitas di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Setiap SPPG wajib mengunggah laporan berisi data penerima, nota pembelian bahan, serta bukti foto dan video kegiatan.
Tahap ketiga, verifikasi laporan dilakukan secara digital. Dana tahap berikutnya hanya bisa dicairkan jika bukti kegiatan dan laporan sudah terverifikasi.
Terakhir, sistem digital terintegrasi dengan data keuangan negara dan diverifikasi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dengan demikian, setiap rupiah dapat dilacak dengan mudah.
Digitalisasi menjadikan ompreng wadah sederhana bagi makanan bergizi sebagai simbol dari tata kelola modern. Dari dapur sekolah hingga sistem data nasional, semua diikat oleh satu prinsip: transparansi sebagai amanah.
Nilai Syariah di Balik Digitalisasi
Dalam perspektif ekonomi syariah, digitalisasi MBG merupakan wujud implementasi prinsip al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum). Islam menempatkan keadilan, efisiensi, dan amanah sebagai dasar dalam mengelola sumber daya publik.
Kaidah fikih klasik menyatakan:
“Tasharruful imām ‘ala ra‘iyyatihi manutun bil maslahah.”
(Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan.)
Artinya, setiap kebijakan publik harus membawa manfaat nyata bagi rakyat, bukan sekadar memenuhi target administratif.
Digitalisasi membantu memastikan hal itu: data akurat, distribusi adil, dan dana publik digunakan sesuai peruntukan.
Dalam Islam, pengelolaan harta publik juga wajib bebas dari gharar (ketidakjelasan) dan isrāf (pemborosan). Digitalisasi menjadi sarana untuk menghindari dua hal tersebut. Transparansi data, pelaporan otomatis, dan audit digital adalah bentuk nyata penerapan nilai hisbah (pengawasan publik) dalam konteks modern.
Dengan begitu, digitalisasi MBG bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi juga realisasi etika syariah dalam pengelolaan kebijakan sosial.
Akuntabilitas sebagai Amanah
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) menetapkan hukum di antara manusia dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap kebijakan publik adalah amanah yang harus dijalankan dengan keadilan dan tanggung jawab.
Dalam konteks MBG, amanah itu terletak pada penggunaan dana publik untuk menyejahterakan rakyat, khususnya generasi muda.
Sistem digital menjadi sarana tahqiq al-amanah (perwujudan amanah) karena memungkinkan setiap langkah terpantau dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketika laporan disusun berbasis data, bukan narasi manual, maka penyimpangan dapat diminimalkan.
Amanah dalam Islam tidak hanya bernilai moral, tetapi juga administratif. Ketika birokrasi dijalankan dengan integritas dan transparansi, maka nilai spiritual dan profesional bersatu dalam satu sistem yang berkeadilan.
Kaidah Fikih dan Pencegahan Kerusakan
Kaidah fikih menyebut:
“Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.”
(Menghindari kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan.)
Digitalisasi MBG sejalan dengan prinsip ini. Sistem digital mencegah kerusakan seperti kebocoran dana, manipulasi data, dan ketidaktepatan sasaran.
Pencegahan yang kuat justru menjadi fondasi bagi kemaslahatan yang lebih besar: generasi sehat dan birokrasi yang bersih.
Selain itu, kaidah “al-umuru bi maqasidiha” (setiap kebijakan dinilai dari tujuannya) mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan.
Tujuan utama MBG tetaplah kemaslahatan sosial: memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan makanan bergizi untuk tumbuh dan belajar dengan baik.
Tantangan Implementasi
Meski konsep digitalisasi menjanjikan banyak hal positif, tantangannya juga nyata.
Pertama, kesenjangan digital. Tidak semua sekolah memiliki infrastruktur internet yang memadai. Tanpa pemerataan akses, pelaksanaan di daerah terpencil bisa terhambat.
Kedua, keamanan data pribadi. Penggunaan face recognition dan data anak sekolah membutuhkan perlindungan yang ketat. Etika digital dan privasi harus dijaga agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Ketiga, kesiapan sumber daya manusia. Operator SPPG dan aparat daerah perlu dibekali pelatihan agar memahami sistem digital secara menyeluruh.
Keempat, koordinasi antarinstansi. Digitalisasi membutuhkan sinergi antara BGN, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah agar sistem terintegrasi dengan baik.
Jika semua tantangan ini dijawab dengan kolaborasi dan komitmen, maka digitalisasi MBG akan menjadi warisan kebijakan publik yang berdaya guna dan berdaya iman.
Teknologi sebagai Ibadah Sosial
Digitalisasi dalam program Makan Bergizi Gratis memperlihatkan bahwa iman dan teknologi bisa berjalan seiring. Dalam kerangka maqashid syariah, teknologi menjadi sarana menjaga jiwa (hifzh an-nafs) dan keturunan (hifzh an-nasl).
Ketika sistem digital digunakan untuk memastikan anak-anak Indonesia menerima hak gizinya dengan jujur, adil, dan transparan, maka itu bukan hanya kerja birokrasi tetapi juga bentuk ibadah sosial yang bernilai spiritual.
Rasulullah SAW bersabda:
“Kullukum ra‘in wa kullukum mas’ulun ‘an ra‘iyyatihi.”
(Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.)
Digitalisasi MBG adalah wujud tanggung jawab bersama atas amanah rakyat.
Dari layar monitor hingga ompreng anak sekolah, setiap data dan porsi makanan adalah saksi bahwa teknologi bisa menjadi jalan menuju keadilan sosial dan kemaslahatan umat.
Penulis: Ahsanal Huda
Mahasiswa Doktoral Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung












