PEMERINTAH Indonesia menyalurkan dana besar kepada HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara: BRI 55T, Mandiri 55T, BNI 55T, BTN 25T, BSI 10T) dengan skema penempatan dana. Dana tersebut mencapai Rp200 triliun dan diberikan imbal hasil setara 80,476% dari suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), yang saat itu sebesar 5%. Artinya, imbal hasil yang diterima pemerintah dari penempatan dana ini adalah sekitar 4,02% per tahun.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan likuiditas perbankan, memperluas penyaluran kredit, dan menjaga roda perekonomian tetap berputar. Namun, sebagaimana kebijakan ekspansi fiskal dan moneter lainnya, terdapat dampak positif sekaligus tantangan yang harus dicermati.
Dampak Positif
- Likuiditas Perbankan Terjaga
Dengan tambahan Rp200 triliun, Himbara memiliki amunisi besar untuk menyalurkan kredit modal kerja. Hal ini penting agar dunia usaha—khususnya UMKM—tetap beroperasi di tengah kondisi sulit.
- Penyaluran Kredit ke Sektor Riil
Pemerintah mensyaratkan agar dana tersebut dilipatgandakan penyalurannya dalam bentuk kredit (misalnya rasio 1:3). Artinya, Rp200 triliun bisa bertransformasi menjadi Rp600 triliun lebih kredit ke sektor riil. Ini menciptakan multiplier effect yang signifikan pada konsumsi, investasi, dan lapangan kerja.
- Dukungan kepada UMKM
Himbara adalah penyalur utama program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan likuiditas tambahan, UMKM mendapat akses lebih mudah pada pembiayaan berbunga rendah. Dampaknya adalah peningkatan permodalan, daya saing, dan peluang ekspansi usaha.
- Efisiensi Fiskal Pemerintah
Dengan imbal hasil 80,476% dari BI rate (4,02%), pemerintah tetap menerima bunga dari penempatan dana tersebut. Skema ini lebih efisien dibandingkan bila dana disimpan dalam instrumen lain yang tidak langsung mendukung perekonomian riil.
Dampak Negatif
- Risiko Moral Hazard
Ada potensi sebagian bank menyalurkan kredit ke segmen korporasi besar yang lebih aman, bukan ke UMKM yang sebenarnya menjadi target. Jika ini terjadi, efektivitas kebijakan untuk mendorong pemulihan usaha kecil berkurang.
- Potensi Kredit MacetJika kredit dipaksakan masuk ke sektor usaha yang belum sepenuhnya pulih, risiko Non-Performing Loan (NPL) meningkat. Ini bisa menjadi beban keuangan bank dan akhirnya pemerintah.
- Biaya Fiskal Tersembunyi
Meskipun pemerintah mendapat imbal hasil 4,02%, dana yang ditempatkan seharusnya bisa dipakai untuk belanja langsung (subsidi, infrastruktur, bansos). Penempatan di bank membuat efeknya tidak langsung, sehingga pemulihan bisa lebih lambat di segmen masyarakat terbawah.
- Ketimpangan Akses Kredit
UMKM informal atau usaha di daerah terpencil masih sulit mengakses kredit bank. Dana besar di Himbara bisa saja lebih banyak mengalir ke UMKM menengah atau usaha formal di perkotaan.
Analisis Kritis
Kebijakan penempatan dana pemerintah ke Himbara dengan imbal hasil 80,476% dari BI rate merupakan bentuk stimulus likuiditas yang relatif aman secara fiskal. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada distribusi kredit.
Jika benar-benar disalurkan ke UMKM produktif, maka dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi bisa sangat besar. Jika lebih banyak terserap oleh korporasi besar atau menumpuk sebagai dana cadangan bank, maka kebijakan ini hanya menolong sisi perbankan, bukan dunia usaha.
Kesimpulan
Penyaluran dana Rp200 triliun ke HIMBARA dengan imbal hasil 80,476% dari BI rate (setara 4,02%) memiliki dampak positif berupa stabilitas likuiditas perbankan, perluasan kredit, dukungan ke UMKM, dan efisiensi fiskal. Namun, terdapat dampak negatif berupa risiko moral hazard, kredit macet, biaya fiskal oportunitas, serta ketimpangan akses bagi UMKM kecil. Agar kebijakan ini efektif, pemerintah perlu:
- Memastikan penyaluran kredit benar-benar ke sektor riil dan UMKM produktif.
- Mengawasi distribusi agar tidak terkonsentrasi hanya pada debitur besar.
- Mengintegrasikan dengan program pendampingan, subsidi bunga, dan digitalisasi UMKM.
Dengan demikian, dana besar ini tidak hanya menjadi “penolong bank”, tetapi juga “penggerak dunia usaha” yang mampu memulihkan ekonomi nasional. (*)
Penulis
Jamhari Hadipurwanta
Pemerhati Kebijakan Publik PWM Lampung