Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Secangkir Kopi

Koperasi Desa Gagal Jalankan Peran Sebagai Jembatan Keuangan Masyarakat dan Perbankan

476
×

Koperasi Desa Gagal Jalankan Peran Sebagai Jembatan Keuangan Masyarakat dan Perbankan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
Example 468x60

Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi Desa sering diharapkan menjadi “jembatan keuangan” antara anggota (masyarakat desa) dan perbankan, khususnya bank-bank HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara). Namun dalam praktik, banyak USP gagal menjalankan peran itu. Terdapat beberapa factor yang menyebabkan kegagalan tersebut, yaitu:

Pertama, lemahnya legalitas dan kepatuhan terhadap regulasi yang ada. Banyak USP belum memenuhi standar akuntansi dan regulasi OJK/Kemenkop, sehingga sulit diterima bank sebagai mitra formal. Terbatasnya sumberdaya manusia khususnya pengurus Koperasi yang terlatih dan memiliki kompetensi dalam bidang manajemen risiko, akuntansi, dan digitalisasi keuangan. Menurunnya kepercayaan Bank karena “Moral hazard” seperti kasus kredit macet, konflik kepengurusan, atau praktik “pinjam tanpa agunan”.

Example 300x600

Kedua, USP dianggap tidak efisien sebagai channeling agent karena USP biasanya mengelola dana terbatas (modal berasal dari simpanan anggota), sehingga daya ungkit kecil. Sedangkan Bank HIMBARA memerlukan mitra dengan kapasitas penyaluran kredit yang lebih besar, terstruktur, dan bankable.

Ketiga, terdapat perbedaan “Model Bisnis” antara Koperasi Desa dan Himbara. USP Koperasi berbasis solidaritas anggota, dengan fleksibilitas tinggi (bunga, syarat, mekanisme sederhana). Bank berbasis prudential banking dan regulasi ketat (analisis 5C, jaminan, BI Checking/SLIK). Kesenjangan ini membuat USP tidak bisa berfungsi sebagai “perpanjangan tangan” bank, karena model bisnis tidak selaras.

Keempat, terbatasnya Akses Teknologi & Integrasi Sistem Keuangan. Banyak USP masih manual (pembukuan kertas), sementara HIMBARA mensyaratkan digital reporting, core banking system, dan transparansi data. Tanpa sistem terintegrasi, bank tidak bisa menilai kesehatan USP maupun kualitas portofolionya.

Kelima, perbedaan regulasi & tingkat kepercayaan masyarakat. Regulasi koperasi berbeda dengan regulasi perbankan menyebabkan bank sulit menyalurkan kredit lewat USP tanpa payung hukum yang jelas. Kasus gagal bayar USP di beberapa daerah membuat bank kurang percaya menjadikan USP sebagai lembaga linkage.

Keenam, kurangnya Model Linkage Financing yang konsisten antara koperasi dengan Bank. Ada program linkage antara bank dengan koperasi (seperti executing atau channeling loan), namun implementasinya masih  sporadis, dan tidak berkelanjutan. Banyak bank lebih memilih langsung ke BUMDes, BPR, atau fintech karena lebih jelas dan cepat.

Unit Simpan Pinjam  Koperasi Desa gagal menjadi jembatan karena gap tata kelola, skala modal, integrasi sistem, dan perbedaan regulasi. Bank membutuhkan mitra yang transparan, bankable, dan terukur, sementara banyak USP masih berbasis solidaritas lokal dengan pengelolaan sederhana. Untuk mewujudkan USP Koperasi Desa menjadi jembatan keuangan masyarakat dengan HIMBARA, diperlukan reformasi total terhadap faktor-faktor tersebut di atas. (*)

 

Penulis:

Jamhari Hadipurwanta

Ketua LP3K Garuda Matahari Indonesia

Example 300250
Example 120x600