DI TENGAH gencarnya kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai salah satu langkah besar yang dicanangkan.
Program ini bertujuan untuk memastikan setiap anak sekolah mendapatkan asupan gizi yang cukup. Namun, di balik niat baik ini, muncul pertanyaan: apakah anggaran besar yang dialokasikan untuk MBG benar-benar menjawab permasalahan utama dalam dunia pendidikan? Ataukah ada prioritas lain yang lebih mendesak?
Di Lampung, terdapat lebih dari 200 sekolah dan madrasah Muhammadiyah dengan total lebih dari 51.000 siswa. Untuk mempermudah perhitungan, kita gunakan angka 50.000 siswa sebagai sampel. Dengan asumsi biaya makan Rp10.000 per siswa per hari dan sistem _Full Day School_ (5 hari dalam seminggu), anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp500 juta per hari, Rp2,5 miliar per minggu, dan Rp10 miliar per bulan.
Sementara itu, di sekolah dan madrasah Muhammadiyah se-Lampung, terdapat sekitar 4.000 guru yang berkhidmat setiap hari dengan penuh dedikasi. Jika dana MBG ini dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, maka setiap guru bisa mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp2,5 juta per bulan.
Tentu, MBG memiliki dampak positif. Program ini bisa membantu meningkatkan gizi anak-anak sekolah, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan nutrisi yang baik, diharapkan daya konsentrasi siswa meningkat, yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan.
Namun, masalah utama dalam dunia pendidikan saat ini bukanlah kekurangan makanan di sekolah, melainkan kesejahteraan para guru. Guru yang sejahtera akan lebih fokus dalam mengajar, lebih bersemangat dalam mendidik, dan pada akhirnya akan menghasilkan generasi yang lebih unggul.
Mungkin solusinya bukan membatalkan MBG sepenuhnya, tetapi menyeimbangkannya dengan kebijakan lain yang lebih menyeluruh. Alih-alih memberikan makan siang gratis kepada semua siswa, bukankah lebih baik jika anggaran tersebut dialokasikan sebagian untuk kenaikan gaji guru, terutama di sekolah-sekolah swasta yang masih menggaji di bawah standar?
Dengan cara ini, bukan hanya siswa yang mendapatkan manfaat, tetapi juga guru yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan.
Pendidikan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak makanan bergizi yang dikonsumsi siswa, tetapi juga oleh seberapa baik kesejahteraan guru yang mengajar mereka.
Jika ingin memperbaiki dunia pendidikan, mungkin saatnya kita bertanya kembali: apakah yang lebih mendesak, memberi makan anak-anak yang sebagian besar sudah cukup mampu, atau memastikan para pendidik mereka mendapatkan apresiasi yang layak?
Oleh: Sigit Admojo